Di zaman sekarang ini, informasi mengenai hal apapun bisa didapatkan dengan mudah melalui internet, termasuk informasi mengenai kesehatan. Hal ini menyebabkan tidak sedikit orang tergoda untuk mencari tahu sendiri penyebab dari gejala-gejala kesehatan yang dialaminya melalui internet, ketimbang pergi memeriksakan diri ke dokter. Dan yang paling sering kita jumpai adalah beberapa orang akan memposting di sosial media untuk bertanya mengenai terapi yang cocok untuk penyakit yang dideritanya. Teman yang pernah memiliki gejala yang sama pun kemudian akan menginformasikan berbagai cara untuk mengatasi masalah tersebut berdasarkan yang sudah pernah dilakukannya. Karena dirasa lebih pengalaman dengan keluhan yang sama, kita akan melakukan juga saran tersebut, apalagi sebelumnya kita sudah banyak mencari tahu dan membaca mengenai artikel kesehatan yang sebenarnya kurang kredibel. Tidak merasa sembuh atau lebih baik, mendiagnosis diri sendiri justru akan memperburuk kondisi kesehatan kita. Hal ini dapat dikategorikan dalam fenomena self-diagnosis.
Apa itu Self-Diagnosis?
Mendiagnosis diri sendiri (self-diagnosis) adalah memutuskan bahwa kita memiliki penyakit berdasarkan pengetahuan yang dimiliki atau setelah membaca informasi yang berkaitan dengan keluhan tersebut (Akbar, 2019). Dan orang-orang yang terbiasa mendiagnosis diri sendiri secara berlebihan disebut juga cyberchondria (White & Horvitz, 2009, dalam Akbar, 2019)
Padahal, meskipun saat ini informasi mengenai kesehatan cukup mudah ditemukan, bukan berarti kita tidak memerlukan perawatan medis. Tidak jarang, kebanyakan orang terlalu membesar-besarkan keluhan setelah membaca informasi tersebut. Padahal informasi yang tersedia di internet seringkali tidak dapat dipertanggungjawabkan secara medis atau tidak evidence-based medicine. Hal ini bisa berbahaya, karena asumsi tersebut bisa saja salah.
Diagnosis hanya boleh ditetapkan oleh tenaga medis profesional. Pasalnya, proses menuju diagnosis yang tepat sangatlah sulit. Ketika berkonsultasi, dokter akan menetapkan diagnosis yang ditentukan berdasarkan gejala, keluhan, riwayat kesehatan serta faktor lain yang dialami. Sangat memungkinkan akan ada pemeriksaan lanjutan, misalkan pemeriksaan laboratorium, rontgen, EKG dan pemeriksaan lainnya, karena dugaan terhadap suatu penyakit tidak bisa disimpulkan begitu saja.
Dampak Self-Diagnosis?
Nah, dampak self-diagnosis bisa berbahaya, karena akan memiliki kecenderungan mengambil proses pengobatan yang salah. Risiko mengalami kondisi kesehatan yang lebih parah pun bertambah besar bila sembarangan mengonsumsi obat atau menjalani metode pengobatan yang tidak disarankan oleh dokter.
Dampak self-diagnosis juga sangat buruk terhadap kesehatan mental, yaitu meningkatkan kecemasan yang berlebih dan memicu rasa depresi, misalkan munculnya rasa khawatir karena sering merasa sakit kepala dan sering merasa lelah, kemudian akan mencari informasi sakit kepala tersebut di internet. Dari hasil pencarian tersebut didapati bahwa sakit kepala yang sering muncul bisa mengindikasikan penyakit otak serius, seperti tumor otak. Di saat bersamaan akan muncul rasa cemas dan stres, sehingga timbul rasa takut yang akan mengganggu kesehatan mental. Gangguan mental biasanya tidak muncul sendirian, melainkan juga disertai dengan keluhan fisik lainnya.
Itulah mengapa disarankan untuk berkonsultasi dengan dokter untuk mendiagnosis gejala kesehatan yang di alami (jangan menjadi dokter bagi diri sendiri dengan melakukan self-diagnosis), hal ini dilakukan supaya dokter dapat membuat diagnosis yang tepat dan memberikan terapi yang tepat juga untuk kita.
Ditulis oleh:
dr. Annita Sari
Informasi dan Pendaftaran Customer Care:
Klinik Utama Rawat Jalan Gleneagles – Trisensa Diagnostic Centre
Jl. Taman Ade Irma Suryani Nasution No.5 Surabaya
(031) 5455470 dan 081334534535